Ketika memasuki bulan Oktober, tentu ingatan kita tidak akan pernah lepas dari suatu peristiwa dimana peristiwa tersebut sampai saat ini kita yakini bersama sebagai tonggak adanya persatuan dan kesatuan bangsa ini, sehingga kita dapat terbebas dari belenggu penjajah. Ya, peristiwa tersebut adalah Kongres Pemuda II yang menghasilkan trilogi yang dikenal dengan "Sumpah Pemuda". Trilogi tersebut berisi pengakuan satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa : INDONESIA.
Dibalik peristiwa besar tersebut ternyata mengisahkan satu nama, yang belum banyak kita kenal. Ya, mungkin nama itu terlalu kecil untuk mengimbangi kebesaran tokoh-tokoh pada masa itu, misalnya Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, dan mungkin tokoh-tokoh yang juga terlibat langsung dalam peristiwa tersebut misalnya Moh. Yamin atau mungkin WR. Supratman.
Kemudian siapakah tokoh yang namanya belum banyak dikenal orang tersebut. Dialah Soegondo Djojopuspito. Tokoh sentral pada peristiwa Kongres Pemuda II yang berlangsung tanggal 27-28 Oktober 1928 di Batavia (Jakarta). Beliau pada saat itu mendapat kepercayaan untuk memimpin jalannya kongres yang dihadiri oleh sebagian besar utusan-utusan (pimpinan) organisasi-organisasi kepemudaan yang ada di Indonesia. Beliau terpilih sebagai ketua kongres dan didampingi oleh Moh. Yamin sebagai sekretaris.
Soegondo Djojopuspito merupakan putra asli bumi wali, Kabupaten Tuban. Lahir di Tuban pada tanggal 22 Pebruari 1905. Ayahnya diketahui bernama Kromosardjono, seorang Penghulu dan Mantri Juru Tulis Desa di Tuban. Sejak kecil Soegondo Djojopuspito sudah ditinggal ibunya. Ibunya meninggal dunia karena sakit-sakitan. Kemudian ayahnya menikah lagi dan pindah ke Kabupaten Brebes, Jawa Tengah dan mennjadi lurah disana.
Adapun Soegondo dan adiknya, Soenarjati, diangkat anak oleh pamannya yang bernama Hadisewojo, seorang Collecteur di wilayah Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Pamannya inilah yang berperan sangat besar dalam mengarahkan Soegondo dalam pendidikan.
Soegondo mengenyam pendidikan HIS (Sekolah Dasar 7 tahun) tahun 1911-1918 di kota Tuban. Tahun 1919 setelah lulus HIS pindah ke Surabaya untuk meneruskan ke MULO (Sekolah Lanjutan Pertama 3 tahun) tahun 1919 - 1922 di Surabaya, dan oleh pamanya ia dititipkan mondok di rumah HOS Cokroaminoto (Tokoh Sarikat Islam) bersama Soekarno.
Kemudian setelah lulus MULO, tahun 1922 melanjutkan sekolah ke AMS afdeling B (Sekolah Menengah Atas bagian B - paspal - 3 tahun) di Yogyakarta tahun 1922-1925, dan oleh pamannya melalui HOS Cokroaminoto
dititipkan mondok di rumah Ki Hadjardewantoro di Lempoejangan
Stationweg 28 Jogjakarta (dulu Jl. Tanjung, sekarang Jl. Gajah Mada),
yaitu sebelah barat Puro Paku Alam.
Setelah lulus AMS tahun 1925 melanjutkan kuliah atas biaya pamannya dan bea siswa di Rechtshoogeschool te Batavia (Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta - didirikan tahun 1924 - cikal bakal Fakultas Hukum Universitas Indonesia
sekarang). Ia mondok di rumah pegawai pos bersama beberapa pegawai pos
Pasar Baru lainnya di Gang Rijksman (belakang Rijswijk - sekarang Jl
Juanda belakang Hotel Amaris Stasiun Juanda), sehingga ia bisa membaca
majalah Indonesia Merdeka asuhan Mohammad Hatta terbitan Perhimpunan Indonesia
di Negeri Belanda yang dilarang masuk ke Indonesia.
Selama menjadi mahasiswa, beliau hidup dalam keadaan yang sulit. Hanya punya satu baju, yang harus dicuci dulu kalau mau
kuliah. Kuliah di RHS
hanya mencapai lulus tingkat Candidat Satu (C1), setelah Propadeus,
karena bea siswanya dicabut akibat kegiatan politiknya dan juga pamannya
meninggal dunia (sekarang setingkat dengan ijazah D2, karena sistem
pendidikan sekolah tinggi pada waktu itu adalah terdiri atas 4 jenjang,
yaitu: Propadeus, Candidat 1 dan Candidat 2, serta Doktoral).
Mengapa Soegondo terpilih menjadi menjadi Ketua Kongres Pemuda II tersebut? Jawabanya adalah karena Soegondo merupakan anggota PPI (persatuan Pemuda Indonesia), yaitu organisasi pemuda yang independen pada waktu itu, karena tidak berdasarkan kesukuan. Soegondo terpilih menjadi ketua sebelum kongres tersebut berlangsung, dengan persetujuan Drs. Moh. Hatta yang menjabat sebagai ketua PPi di negeri Belanda dan Ir. Soekarno yang berada di Bandung sebagai tokoh yang paling berpengaruh pada waktu itu.
Kandidat ketua lainnya saat itu adalah Mohammad Yamin, tetapi beliau berasal dari
Yong Sumatra (kesukuan), sehingga diangkat menjadi Sekretaris. Perlu
diketahui bahwa Moh. Yamin adalah Sekretaris dan juga salah satu peserta
yang mahir berbahasa Indonesia (sastrawan), sehingga hal-hal yang perlu
diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia yang benar tidak menjadi hambatan
(seperti diketahui bahwa notulen rapat ditulis dalam bahasa Belanda yang
masih disimpan dalam museum).
Kongres Pemuda II atas kepemimpinan Soegondo Djojopuspito, walaupun dengan pengawasan ketat dari pihak belanda, namun dapat berlangsung dengan lancar dan sukses. Seperti kita ketahui bersama, bahwa kongres tersebut menghasilkan Sumpah Pemuda 1928 yang terkenal itu, di mana Para Pemuda setuju dengan Trilogi: Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa: INDONESIA. Trilogi
ini lahir pada detik terakhir kongres, di mana Yamin yang duduk di
sebelah Soegondo menyodorkan secarik kertas kepada Soegondo seraya
berbisik: Ik heb een elganter formuleren voor de resolutie (saya mempunyai rumusan resolusi yang lebih luwes). Dalam secarik kertas tersebut tertulis 3 kata/trilogi: satu nusa, satu bangsa, satu bahasa.
Selanjutnya Soegondo memberi paraf pada secarik kertas itu yang
menyatakan setuju, dan diikuti oleh anggauta lainnya yang menyatakan
setuju juga.
Selain trilogi itu, juga telah disepakati Lagu Kebangsaan: Indonesia Raya ciptaan Wage Rudolf Supratman. Dalam kesempatan ini, WR Supratman berbisik meminta izin kepada Sugondo agar boleh memperdengarkan Lagu Indonesia Raya
ciptannya. Karena Konggres dijaga oleh Polisi Hindia Belanda, dan agar
tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan (misalnya Konggres
dibubarkan atau para peserta ditangkap), maka Sugondo secara elegan dan
diplomatis dengan bisik-bisik kepada WR Supratman dipersilahkan
memperdengarkan lagu INDONESIA RAYA dengan biolanya, sehingga kata-kata
Indonesia Raya dan Merdeka tidak jelas diperdengarkan (dengan biola).
Hal ini tidak banyak yang tahu mengapa WR Supratman memainkan biola pada
waktu itu.
Setelah peristiwa Sumpah Pemuda 1928, Soegondo aktif dalam pergerakan perjuangan merebut kemerdekaan Indonesia. Diantaranya aktif sebagai guru dan masuk partai politik. Pada tanggal 11 Desember 1928 bersama Mr. Sunario Sastrowardoyo mendirikan Perguruan Rakyat yang beralamat di Gang Kenari No. 15 Salemba, dan diangkat sebagai Kepala Sekolah. Namun pada tahun 1930 ia diminta oleh Ki Hadjar Dewantara untuk menjadi guru Perguruan Taman Siswa Bandung. Pada waktu di Bandung tahun 1930 ia mulai sebagai simpatisan PNI (Perserikatan Nasional Indonesia) pimpinan Ir. Soekarno. Tahun 1932, ia diangkat menjadi Kepala Sekolah Perguruan Taman Siswa Bandung. Tahun 1933 menikah dengan penulis Suwarsih Djojopuspito di Cibadak dan isterinya ikut membantu mengajar di Perguruan Taman Siswa Bandung.
Pada tahun 1933 ketika Pemerintah Hindia Belanda di bawah Pemerintahan Gubernur General Mr. Bonifacius Cornelis de Jonge, maka para aktivis politik mulai ditangkap. Dan selanjutnya tahun 1934 itu juga, giliran Sugondo juga ditangkap,
namun tidak terbukti bahwa ia anggauta partai, sehingga ia hanya
mendapat larangan mengajar (Onderwijs Verbod) oleh Pemerintah Hindia Belanda. Setelah larangan mengajar dicabut tahun 1935 ia pindah ke Bogor dan mendirikan Sekolah Loka Siswa, namun sepi murid, sehingga ditutup.
Setelah gagal mendirikan Sekolah Loka Siswa di Bogor, Sugondo
pada tahun 1936 pindah mencari pekerjaan ke Semarang, dan ia mengajar di
sekolah Taman Siswa Semarang, sedangkan isterinya bekerja di sekolah
pimpinan Drs. Sigit. Namun kemudian akhir tahun 1936 ia pindah ke
Surabaya bekerja sebagai wartawan lepas De Indische Courant Soerabaia. Setelah di Surabaya, tahun 1938 ia pindah lagi ke Bandung dan Sugondo diterima menjadi guru di Handels Cologium Ksatria Instituut (Sekolah Dagang Ksatria) pimpinan Dr. Douwes Dekker.
Ketika keadaan Eropa genting, menjelang Perang Dunia II, maka pada
tahun 1940 Soegondo pindah ke Batavia ikut isterinya yang mengisi
lowongan guru yang ditinggal pergi orang Balanda. Soewarsih menjadi guru
di GOSVO (Gouvernement Opleiding School voor Vak Onderwijzeressen Paser
Baroe Batavia - Sekolah Guru Kepandaian Putri Negeri Pasar Baru Batavia
- sekarang SMKN 27 Pasar Baru). Ia sempat
bekerja di Centraal Kantoor voor de Statistiek Pasar Baru (CKS - Badan Pusat Statistik) sebelah GOSVO tempat isterinya bekerja, dan juga sebagai wartawan lepas De Bataviaasch Nieuwsblad.
Ketika Jepang datang ke Indonesia dan mengambil alih pemerintahan dari Belanda, Soegondo bekerja sebagai pegawai Shihabu
(Kepenjaraan), dan berkantor di Jl. Cilacap Jakarta Pusat,
serta pindah rumah di Jl. Serang No. 13, Jakarta Pusat, rumah bekas
orang Belanda yang pulang ke Eropa akibat penjajahan Jepang (di muka
rumah Mr. Johannes Latuharhary sebelah dokter Soeradi).
Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, Soegondo aktif dalam Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP) (beranggotakan 28 orang saja). Pada masa RIS, dalam Negara Republik Indonesia dengan Acting Presiden Mr. Assaat, Sugondo diangkat dalam Kabinet Halim sebagai Menteri Pembangunan Masyarakat.
Setelah tahun 1950, meskipun usianya masih 46 tahun, beliau memilih pensiun
sebagai bekas menteri dan perintis kemerdekaan, membaca buku dan sering
bertemu dengan rekan seperjuangan dalam dan luar negeri. Pernah Presiden
Sukarno (sebagai kawan yang pernah sepondokan) tahun 1952 meminta ia
datang ke Jakarta, yang disampaikan kepada isterinya waktu datang di
istana mengantarkan kakaknya, ia berujar: Waar is Mas Gondo, laat hem maar bij mij even komen, ik zal een positie voor hem geven
(Dimana Mas Gondo, suruh dia menemui saya, akan saya beri jabatan untuk
dia), tetapi ia menolak jabatan ini, tidak ada kejelasan mengapa ia
menolak.
Kawan dekatnya sebelum tahun 1955 adalah Sultan Hamengkubuwono IX. Pada tahun 1978 wafat kemudian dimakamkan di Pemakamam Keluarga Besar Tamansiswa Taman Wijayabrata di Celeban, Umbulharjo - Yogyakarta.
Atas jasa pada masa mudanya dalam memimpin Sumpah Pemuda, maka oleh Pemerintah Republik Indonesia pada tahun 1978 diberikan Tanda Kehormatan Republik Indonesia: berupa Bintang Jasa Utama. Selain itu, ia juga mendapat Satya Lencana Perintis Kemerdekaan pada tahun 1992.
Selain itu pihak Kemenpora telah mengabadikan nama ia pada Gedung Pertemuan Pemuda sebagai Wisma Soegondo Djojopoespito Cibubur milik PP-PON (Pusat Pemberdayaan Pemuda dan Olahraga Nasional)
yang dibangun oleh Kemenpora dan diresmikan oleh Menpora pada tanggal
18 Juli 2012. Gedung ini disediakan kepada umum untuk dapat
dimanfaatkan, terutama untuk kegiatan kepemudaan - pramuka - olahraga
untuk tingkat lokal maupun nasional. Pada waktu peresmian sedang
dimanfaatkan untuk penggemblengan pelaku Paskibraka 2012.
Sampai dengan saat ini, sudah banyak pelaku sejarah setelah 1928 yang mendapat pengakuan Pahlawan Nasional, namun beliau hingga kini belum mendapat pengakuan Pahlawan Nasional, mengingat setiap tahun peristiwa Sumpah Pemuda 1928 selalu diperingati secara resmi. Namun pihak Kemenpora sejak bulan Juli 2012 sedang mengusungnya menjadi Pahlawan Nasional.
Sampai dengan saat ini, sudah banyak pelaku sejarah setelah 1928 yang mendapat pengakuan Pahlawan Nasional, namun beliau hingga kini belum mendapat pengakuan Pahlawan Nasional, mengingat setiap tahun peristiwa Sumpah Pemuda 1928 selalu diperingati secara resmi. Namun pihak Kemenpora sejak bulan Juli 2012 sedang mengusungnya menjadi Pahlawan Nasional.
Demikianlah sepenggal kisah seorang pejuang besar, yang berasal dari Bumi Wali - Kabupaten Tuban. Walaupun namanya tidak begitu familiar, namun kita patut untuk meneladaninya. Dengan meneladani tokoh-tokoh pemuda pada masa itu, mungkin kita bisa memperbaiki moral pemuda-pemuda kita yang semakin hari semakin merosot. Semoga sepenggal kisah teladan ini dapat memotivasi dan mengispirasi kita untuk senantiasa mengisi kemerdekaan ini dengan hal-hal positif, dan selalu menghargai jasa-jasa para pahlawan negeri ini. Dan semoga beliau segera diberikan tanda kehormatan berupa gelar "Pahlawan Nasional" oleh pemerintah negeri ini.
Pustaka : Wikipedia, Majalah Akbar Edisi 198
Pustaka : Wikipedia, Majalah Akbar Edisi 198
0 komentar:
Posting Komentar